Matawanita.net – Muhammad Sabil Fadhillah, seorang guru honorer di Cirebon dipecat oleh yayasan tempat ia mengajar. Pasalnya ia mengkritik Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil ketika di Instagram.
Sabil tampak mengomentari unggahan video Ridwan Kamil terkait pemberian hadiah kepada anak SMP yang patungan untuk membelikan sepatu bagi temannya. Dalam komentarnya, Sabil menyoal jas warna kuning yang dikenakan Ridwan Kamil.
Warna jas itu dinilai identik dengan warna Partai Golkar, bahkan Ridwan Kamli menjadi pengurus di partai tersebut.
Sabil lantas bertanya, dalam acara tersebut, Ridwan Kamil berposisi sebagai Gubernur Jabar, kader Golkar ataukah pribadi.
Selain memberi balasan, Ridwan Kamil juga memberikan pin pada komentar Sabil tersebut sehingga komentar tersebut berada di posisi teratas kolom komentar.
Oleh sebagian warganet, komentar Sabil dinilai tak pantas karena menggunakan kata ‘maneh’ yang dianggap tidak sopan.
Diketahui, M Sabil Fadillah tercatat sebagai guru SMK Telkom Sekar Kemuning Kota Cirebon dan mengajar pelajaran multimedia. Pria berusia 34 tahun ini merupakan lulusan Universitas Islam Bandung (Unisba) dan sudah 8 tahun mengajar. Tak lama dari itu, ia pun dipecat.
Tak menunggu waktu lama bagi mantan guru honorer itu, anggota DPR RI Dedi Mulyadi memberikan pekerjaan Muhammad Sabil Fadhillah. Pria asal Cirebon yang dipecat akibat mengomentari unggahan instagram Gubernur Jabar Ridwan Kamil dengan kata maneh (kamu) dijadikan fotografer.
“Saat menemui Sabil beberapa hari lalu, ternyata dia menganggur dan sedang mencari kerja,” kata Dedi.
Atas hal itulah, dia berinisiatif memberi pekerjaan Sabil, yakni menjadi fotografer di timnya.

“Sekarang mah job seeker, masih cari kerja. Barang kali mau dijadikan fotografer atau kameramen akang (Kang Dedi) boleh, itu juga kalau ditawari,” kata Sabil saat ditanya Dedi Mulyadi, dikutip dari Antara.
Saat itu, Dedi langsung memenuhi keinginan Sabil, dan keduanya saling berjabat tangan, pertanda sepakat untuk mempekerjakan Sabil sebagai fotografer di timnya.
“Serius nih? Kita juga lagi kurang fotografer. Kalau bener salaman, deal,” ucap keduanya saat berjabat tangan.
Sabil adalah guru honorer alias tidak tetap yang mengajar di SMK Telkom Sekar Kemuning Kota Cirebon, Jawa Barat. Ia diberhentikan oleh pihak yayasan yang menaunginya, lantaran dinilai melakukan pelanggaran setelah berkomentar di unggahan media sosial instagram (IG) Gubernur Ridwan Kamil hingga membuat ramai di pihak sekolah.
“Saya memang sudah dipecat, tapi di sini (surat) bertuliskan pengakhiran hubungan kerja, ini dikarenakan komentar saya di IG Gubernur Ridwan Kamil,” ungkap Sabil.
Sabil mengatakan ia berkomentar di unggahan IG Gubernur Jabar saat berinteraksi dengan anak-anak SMP yang berada di Tasikmalaya.
Komentar tersebut dituliskan dirinya menggunakan bahasa Sunda “Dalam zoom ini, maneh teh keur jadi gubernur jabar ato kader partai ato pribadi @ridwankamil???” (Dalam zoom ini, kamu lagi jadi gubernur jabar atau kader partai atau pribadi).
Sabil mengaku bahwa sebutan maneh dalam komentar-nya adalah sebuah panggilan akrab. Karena ia menilai orang yang dikomentari adalah sosok yang friendly.
“Beberapa kali juga pernah ketemu dengan beliau. Saya memandang beliau sosok yang akrab, lebih ke friendly,” ujar Sabil.
Ia tak menyangka komentar kritikan tersebut akan viral hingga ditandai sebagai komentar yang ditandai. Sebab ia mengaku sudah sering berkomentar tapi baru kali ini menjadi viral hingga akhirnya ia berhenti dari pekerjaannya.
Pihak sekolah tempat Sabil mengajar sebetulnya telah memberikan kesempatan kedua untuk ia kembali mengabdi. Namun, Sabil memilih untuk berhenti dan mengundurkan diri sebagai guru SMK di Cirebon.
Sementara itu, Dedi Mulyadi berharap semua orang bisa menghadapi segala sesuatu secara rileks dan tak perlu tegang.
Dedi juga mengkritik Sabil sebagai seorang insan pengajar harus peka saat melontarkan kritik jangan sampai menimbulkan multi-tafsir.
“Dan saya mengkritik Kang Sabil, dia lupa bahwa dia seorang guru yang ketika masuk ke media sosial akan menimbulkan multi-tafsir, karena kultur-nya bukan hanya Pantura di media sosial. Kita juga harus menghormati kultur, mengkritik boleh tapi pilih diksi bahasa yang tidak menimbulkan kontroversi dan ketersinggungan.” tutur Dedi Mulyadi.