Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI Brian Sriprahastuti, melihat representasi peran perempuan seharusnya tidak hanya dilihat dari jumlah, melainkan juga perlu dorongan untuk mengisi posisi strategis yaitu sebagai pengambil kebijakan.
“Harusnya tidak hanya dilihat dari representasi perempuan secara jumlah, tapi representasi perempuan di dalam posisi yang bisa mengambil kebijakan. Ya, bisa saja kebijakan corporate, tapi yang terutama adalah kebijakan publik,” kata Brian.
Di beberapa program, perempuan sudah menduduki posisi strategis. Akan tetapi, Brian menyayangkan masih adanya perspektif yang hanya menempatkan kepemimpinan perempuan dalam program-program berkaitan dengan perempuan sebagai korban atau isu yang memang melibatkan perempuan seperti program tentang keluarga, kekerasan seksual, hingga pekerja domestik.
“Jadi perempuan menjadi pemimpin karena isu dia melibatkan perempuan sebagai korban atau memang itu urusannya perempuan. Padahal harusnya kan tidak seperti itu,” kata dia.
Menurut Brian, representasi perempuan secara kuantitatif sebetulnya hampir setara dengan laki-laki. Dia mencontohkan bagaimana saat ini sudah banyak perempuan yang bekerja baik di lembaga atau kantor pemerintahan maupun di perusahaan swasta.
Dari segi pendidikan, perempuan yang menempuh wajib belajar selama 12 tahun, bahkan hingga perguruan tinggi, juga sudah hampir setara dengan laki-laki. Budaya memprioritaskan laki-laki untuk mengenyam pendidikan dibanding perempuan juga sudah mulai menghilang di masyarakat.
Namun yang masih menjadi permasalahan, kata Brian, perempuan yang lulus dari institusi pendidikan dan memilih untuk bekerja hingga membangun karier di posisi strategis masih minim.
Brian memandang bahwa permasalahan tersebut merupakan tantangan yang kompleks mengingat dunia saat ini masih bersifat maskulin. Apalagi, kultur masyarakat masih mengamini tugas-tugas domestik di sebuah keluarga yang dibebankan pada perempuan. Ini dapat menghambat dan membatasi perempuan untuk membangun jenjang karier hingga mencapai posisi strategis.
“Selama dunia ini maskulin, mau perempuan dikasih porsi afirmasi seperti apapun, dia tetap tidak akan mampu bersaing karena masih ada beban domestik yang melekat pada dirinya. Domestiknya ini belum berbagi dengan para lelaki sehingga itu membatasi dia,” kata dia.
Peran Perempuan sebagai Motor Penggerak
Sementara itu, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan bahwa peran perempuan sebagai motor penggerak di dalam pelayanan kesehatan primer yang berada di akar rumput.
“Perempuan itu peranannya sangat penting. Makanya kenapa kita melakukan transformasi layanan primer adalah kita mengupayakan promosi kesehatan, pencegahan, deteksi dini, dan pelayanan kesehatan untuk semua siklus kehidupan,” kata Nadia dalam diskusi “Women’s Leadership in Public Health” di Jakarta, Kamis.
Kemenkes telah berkomitmen untuk melakukan transformasi sistem kesehatan Indonesia, salah satunya yaitu transformasi layanan primer yang bertujuan untuk mendekatkan layanan promotif preventif berkualitas ke masyarakat dan meningkatkan derajat kesehatan.
Nadia mengatakan bahwa perempuan menjadi penggerak utama terkait kesehatan di dalam keluarga dan masyarakat. Oleh sebab itu, imbuh dia, perempuan Indonesia harus lebih berdaya serta memiliki pengetahuan tentang kesehatan terutama terkait dengan kesehatan ibu dan anak seperti imunisasi dan skrining penyakit prioritas.
Nadia juga menekankan bahwa Kemenkes berkomitmen untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak di Indonesia melalui RPJMN untuk menurunkan angka kematian ibu menjadi 183 kematian per 100.000 kelahiran hidup pada 2024.
“Kita semua menyadari bahwa perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia dalam hal pencegahan gizi buruk yang dapat menyebabkan stunting, angka kematian ibu dan juga angka kematian bayi,” kata dia.
Di sisi lain, Nadia mengingatkan bahwa perempuan juga harus menyadari haknya untuk mencapai derajat kesehatan setinggi-tingginya bagi dirinya sendiri. Perempuan harus punya hak akses maupun kontrol untuk mendapatkan layanan kesehatan.
Senada, Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) Aryana Satrya mengatakan peran perempuan di akar rumput juga sangat penting dalam mendorong kesehatan keluarga.
Dari sisi bidang kesehatan, dia turut menyoroti jumlah tenaga medis di dunia yang didominasi oleh perempuan sekitar 70 persen. Kondisi serupa juga tidak jauh berbeda dengan Indonesia.
Merujuk data Kemenkes pada 2019, sekitar 70 persen dari 1,2 juta tenaga medis di Indonesia adalah perempuan yang banyak menempati posisi dokter umum, ahli gizi, dokter spesialis anak, perawat, dan bantuan tenaga medis lainnya.
Namun sayangnya, kata Aryana, mayoritas proporsi tenaga kesehatan perempuan yang mampu menempuh jenjang dokter spesialis ternyata lebih sedikit dibandingkan laki-laki, yaitu masing-masing sekitar 12 ribu banding 17 ribu.