Matawanita.net – Banyak kita temui ketika mengakses atau bermain media sosial, ada saja orang flexing atau pamer kekayaannya. Nah, perilaku satu ini dianggap memiliki masalah dalam dirinya.
Pakar psikologi sosial dari Universitas Indonesia Dicky C. Pelupessy, Ph.D. melihat bahwa orang flexing atau pamer kekayaan di media sosial cenderung memiliki masalah insecurity atau ketidakamanan dan self-esteem atau harga diri yang rendah.
Sebab, orang flexing ingin terlihat ‘wah’ dibandingkan orang lain yang ada di sekitarnya.
“Sebenarnya kalau kita lihat dari kacamata psikologis, di situ ada problem dengan self-esteem orang tersebut. Ada problem dengan rasa aman, rasa nyamannya, jadi ada insecurity yang kemudian dia cari kompensasinya,” kata Dicky seperti dikutip dari Antara.
Kata Dicky, pada prinsipnya setiap manusia memiliki self atau diri yang dapat diterjemahkan sebagai kesadaran tentang dirinya sendiri. Ini yang menjadi penggerak dari perilaku seseorang.
Ketika kesadaran diri dan rasa penghargaan terhadap dirinya sendiri rendah, seseorang ingin mendapatkan pengakuan dan pujian jika dirinya lebih baik yang datang dari luar dirinya atau orang lain. Lantas yang menjadi masalah, sebagian orang merasa bahwa flexing bisa dijadikan sebagai cara kompensasi untuk mendapatkan pengakuan tersebut.

“Dia berusaha mengompensasi dengan cara flexing. Dia pikir kalau, ‘Saya punya harta benda yang mahal, yang mungkin tidak semua orang bisa miliki, terbatas’, dia pikir itu akan membuat dia akan dinilai orang lebih baik dan lebih hebat. Kemudian nanti, ‘Saya akan mendapat sehingga saya merasa aman dan nyaman’,” tambah Dicky soal orang flexing.
Apabila seseorang tidak bisa berdamai dengan dirinya sendiri, maka orang tersebut akan merasa cemas terus-menerus, termasuk merasa tidak aman dan rendah diri. Apabila hal ini terus ditumpuk, maka akan menimbulkan masalah secara psikologis.
Agar tidak terjebak pada perilaku flexing, setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan dengan menerapkan counter thinking dan berpikir sejenak sebelum mengambil tindakan.
Cara Agar Tidak Terjebak jadi Orang Flexing
Kata Dicky, pertama, posisikanlah diri sendiri sebagai audiens atau orang lain yang akan melihat dan merespons unggahan flexing di media sosial.
Kedua, untuk tidak jadi orang flexing, carilah cara kompensasi lain yang mungkin dapat dilakukan untuk meningkatkan harga diri selain melakukan tindakan tersebut.
“Memikirkan kira-kira apa, sih, reaksi orang ketika melihat saya flexing. Apakah kemudian beneran mereka akan memuji-muji saya, membuat saya terasa lebih hebat. Ataukah kemudian sebetulnya orang biasa saja (tidak memuji),” papar Dicky.
Menurutnya, orang-orang terdekat juga bisa turut andil menegur atau mengingatkan bahwa perilaku orang flexing tidak selalu berujung mendapatkan pujian. Namun, bisa saja ia akan mendapat cibiran dan publik menganggapnya biasa saja.
“Kalau kita jadi orang yang kenal dekat, tidak apa-apa mengingatkan. Bahwa ‘Kalau kamu memamerkan kekayaan, itu tidak lantas membuat orang terkesan, bahkan mungkin bisa jadi yang kamu dapatkan adalah cibiran. Dan mungkin orang akan menganggap itu sesuatu yang biasa saja’,”pungkas Dicky.
Berikut adalah beberapa ciri-ciri orang flexing seperti dikutip dari berbagai sumber:
- Selalu membicarakan atau menunjukkan barang mewah yang dimilikinya, seperti mobil mewah, rumah besar, atau barang-barang berharga lainnya.
- Sering berbicara tentang keberhasilan mereka dalam pekerjaan atau usaha mereka, atau mencoba memperlihatkan penghasilan besar yang mereka peroleh.
- Suka memposting foto-foto diri mereka dengan pakaian atau barang-barang mahal di media sosial, dan selalu mengunggah cerita tentang kehidupan glamor mereka.
- Sering mencari perhatian dan pengakuan dari orang lain atas kekayaan atau kemampuan mereka.
- Cenderung meremehkan atau merendahkan orang lain yang dianggap kurang sukses atau kaya.
- Menghindari topik yang berkaitan dengan kesulitan keuangan atau kegagalan dalam hidup mereka.
- Berusaha terlihat lebih penting atau lebih berkuasa dari orang lain, dan cenderung memperlihatkan superioritas mereka dalam situasi sosial.
- Sering membandingkan diri mereka dengan orang lain dalam hal kekayaan, prestasi, atau kemampuan lainnya.
- Menganggap uang dan status sosial sebagai ukuran utama kesuksesan dalam hidup.
- Terobsesi dengan penampilan mereka, mencoba memperlihatkan penampilan yang sempurna atau terlihat berkelas.